0% found this document useful 0 votes55 views9 pagesDescriptionMakalah Ali Bin Abi ThalibCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes55 views9 pagesMakalah Ali Bin Abi ThalibJump to Page You are on page 1of 9 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 8 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Alibin Abi Thalib mendapat nama panggilan Abu Turab (Bapaknya Tanah) dari Nabi saw. Abu Turab adalah panggilan yang paling disenangi oleh Akli karena nama itu adalah kenang-kenangan berharga dari Nabi saw. Ali adalah salah seorang dsri sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
ArticlePDF AvailableAbstractHistorically, one of the reasons for Islamâs growth and development in various parts of the world is the nature of Islam that is never static in a law. In the context of these changes, the elasticity and flexibility of Islamic law in responding to the problems of human life are increasingly demanded and expected to be able to accommodate them. One way is to do ijtihad to determine the law of every new problem that arises. Evidenced since the time of the Prophet the practice of ijtihad is always done by friends when they cannot ask directly to the Prophet One of the best-known friends did ijtihad after Rasulullah died is Ali ibn Abi Talib. Starting from this description, the writer wants to see Ali ibn Abi Talibâs policy of ijtihad. This paper uses qualitative research methods that are library research. The data in this paper is sourced from books, journals, articles discussing Ali ibn Abi Talib, and ijtihad. After the data is collected, it is then analyzed and analyzed with data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The analysis shows that in the Ali ibn Abi Talibâs ijtihad has its patterns and methods in istinbath or establishing Islamic law fiqh. His determination to hold on to the verses of the Al-Quran as a whole and his carefulness to judge a Sunah, as well as his flexibility in using the raâyu reason was a distinctive feature for Ali ibn Abi Talib in dealing with the legal polemic that occurred in the society at that Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Policy Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 183 Vol. 5, No. 2, 2020 KEBIJAKAN ALI IBN ABI THALIB DALAM IJTIHAD Mhd. Rasidin Institut Agama Islam Negeri Kerinci Jl. Pelita IV Sungai Penuh, Sumur Gedang, Kabupaten Kerinci, Jambi Pos-el mhd_rasidin Doli Witro Institut Agama Islam Negeri Kerinci Jalan Pelita IV Sungai Penuh, Sumur Gedang, Kabupaten Kerinci, Jambi Pos-el doliwitro01 Imaro Sidqi Institut Agama Islam Negeri Pekalongan Jl. Kusuma Bangsa No. 9, Panjang Baru, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah Pos-el imarosidqi Abstract Historically, one of the reasons for Islamâs growth and development in various parts of the world is the nature of Islam that is never static in a law. In the context of these changes, the elasticity and flexibility of Islamic law in responding to the problems of human life are increasingly demanded and expected to be able to accommodate them. One way is to do ijtihad to determine the law of every new problem that arises. Evidenced since the time of the Prophet the practice of ijtihad is always done by friends when they cannot ask directly to the Prophet One of the best-known friends did ijtihad after Rasulullah died is Ali ibn Abi Talib. Starting from this description, the writer wants to see Ali ibn Abi Talibâs policy of ijtihad. This paper uses qualitative research methods that are library research. The data in this paper is sourced from books, journals, articles discussing Ali ibn Abi Talib, and ijtihad. After the data is collected, it is then analyzed and analyzed with data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The analysis shows that in the Ali ibn Abi Talibâs ijtihad has its patterns and methods in istinbath or establishing Islamic law fiqh. His determination to hold on to the verses of the Al-Quran as a whole and his carefulness to judge a Sunah, as well as his flexibility in using the raâyu reason was a distinctive feature for Ali ibn Abi Talib in dealing with the legal polemic that occurred in the society at that time. Keywords Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Policy Abstrak Secara historis, salah satu sebab Islam tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia, adalah sifat Islam yang tidak pernah statis pada sebuah hukum. Pada konteks perubahan tersebut, elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam dalam menjawab problematika kehidupan manusia semakin dituntut dan diharapkan untuk bisa mengakomodasinya. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan ijtihad untuk menentukan hukum setiap permasalahan baru yang muncul. Terbukti sejak masa Nabi praktek ijtihad senantiasa dilakukan oleh para sahabat ketika tidak dapat menanyakan secara langsung kepada Nabi Satu di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad setelah Rasulullah wafat ialah Ali ibn Abi Thalib. Berangkat dari uraian inipenulis hendak melihat kebijakan Ali ibn Abi Thalib mengenai ijtihad. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat library research. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang membahas Ali ibn Abi Thalib dan ijtihad. Setelah data terkumpulkan kemudian ditelaah dan dianalisis dengan teknik analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisa menunjukkan bahwa dalam berijtihad Ali ibn Abi Thalib memiliki pola dan metode tersendiri dalam istinbath atau menetapkan hukum Islam fiqih. Keteguhannya untuk berpegang pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dan kehati-hatiannya untuk menilai suatu Sunah, serta keleluasaannya dalam menggunakan raâyu akal merupakan ciri tersendiri bagi Ali ibn Abi Thalib dalam menghadapi polemik hukum yang terjadi di masyarakat kala itu. Kata kunci Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Kebijakan Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 184 Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Kebutuhan hidup yang bermacam-macam membuat manusia selalu senantiasa berinteraksi dan membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan segenap hukum yang mengatur antara individu dengan individu yang lainnya. Namun, ketika eksistensi hukum tersebut sudah mulai memudar dan tidak diakui oleh sebagian anggota masyarakat, maka diperlukan reaktualisasi dari hukum tersebut. Istilah reaktualisasi dalam hukum Islam merupakan sebuah diskursus yang selalu dibicarakan di mana-mana, terutama di kalangan ahli fiqih. Secara sederhana istilah ini mengarah pada pengejewantahan ajaran Islam dengan melakukan interpretasi terhadap kedua sumbernya yakni Al-Quran dan Sunah. Kedua sumber tersebut dijadikan sebagai dasar bangunan dan sumber syariat Islam. Menurut Fathi al-Duraini, Al-Quran dan Sunah disebut al-nushush al-muqaddasah yang diturunkan Allah dalam bentuk Wahyu Abdul Jafar, âImamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyatâ, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 60. Lihat juga, Doli Witro, âPraktek Jual Beli Parang dengan Cara Penumpukan untuk Meningkatkan Harga di Desa Koto Padang Perspektif Hukum Islamâ, Al-Qisthu, 2019, h. 34. wahyu yang terjauh dari intervensi akal dan rasio manusia. Oleh karena itu, apabila telah dilakukan pemahaman yang mendalam dan ijtihad terhadap makna-makna yang dikandungnya, illat-illat, serta tujuan-tujuannya, maka al-nushhush al-muqaddasah nash-nash Al-Quran dan Sunah tersebut menjadi fiqih yang senantiasa dapat berubah seiring dengan perubahan masa dan secara historis sepanjang sejarah bahwa salah satu sebab Islam tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia, adalah oleh sifat Islam itu sendiri yang tidak pernah statis pada sebuah hukum. Hukum pada suatu masa dan tempat tertentu yang dihasilkan oleh orang Mujtahid tertentu, dapat berlainan, bahkan bertolak belakang, dengan kesimpulan orang Mujtahid lain pada masa dan tempat yang konteks perubahan tersebut, elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam dalam menjawab problematika kehidupan manusia semakin dituntut dan diharapkan untuk bisa mengakomodasinya. Dalam Muhammad Fathi al-Dhuraini, Buhusu Muqaranah fi al-Fiqh al-Islami wa Ushulih, Beirut Muassasah, 1994, Juz 1, h. 16. Syaâban Mauluddin, âKarakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinyaâ, Jurnal Ilmiah Al-Syirâah, Vol. 2, No. 1, 2004, h. 9. Bandingkan dengan Roseffendi, âHubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukumâ, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, 2018, h. 190. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 185 bentuk inilah, begitu pentingnya arti sebuah reaktualisasi hukum Islam dalam rangka mewujudkan agama Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Senada dengan yang diungkapkan oleh ibn Qayyim al-Jauziah berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat yang di atas menunjukkan fatwa dapat saja berubah tergantung situasi, kondisi, zaman, sosial, dan kebiasaan suatu masyaraâat. Perubahan fatwa tersebut tentunya harus berdasarkan pada tujuan dan dasar syariat Islam yang mengutamakan keadilan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yang didukung dan sejalan dengan nash-lah yang disebut maslahah dalam menjelaskan pada dasarnya penetapan hukum syaraâ tidak untuk kebaikan umat muslim dalam mengarungi hidup di dunia dan akhirat. Ungkapan dan pandangan terhadap tujuan-tujuan syaraâ tersebut pada akhirnya menjadi kajian yang menarik dikalangan pakar ushul fiqih Ibn Qayyim al-Jauziyah, Iâlam al-muwaqqiâin an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz 3, h. 14. Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus Dar al-Fikr, 1986, Juz 2, h. 752-754. Lihat juga, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 117. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariâah, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 2, h. 3-4. belakangan. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, semua ketetapan hukum syaraâ yang ditetapkan oleh para ulama tentunya memiliki tujuan dan alasan tertentu. Sehingga dari semua itu harus diwujudkan dan dilaksanakan oleh setiap muslim. Sebab Allah sebagai pembuat syariâat lebih mengetahui makna yang terkandung di dalam terhadap tujuan-tujuan syaraâ dalam kajian ushul fiqih lebih lanjut berkembang dengan istilah maqashid al-syariah. Pemahaman terhadap maqashid al-syariah memiliki peranan yang sangat signifikan dalam berijtihad. Ijtihad adalah salah satu hal yang menjadi jalan dalam memahami ayat-ayat hukum untuk menjadikan norma hukum barufiqh. Ada juga yang mengatakan kalau ijtihad adalah pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum syaraâ yang amali melalui penggunaan sumber syaraâ yang diakui yaitu Al-Qurâan dan Hadis. Ijtihad mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjawab Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qurâan dan Sunnah, Penerjemah Baharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhuâ al-Qurâan wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, 1996, h. 36. Khoirul Hadi, âHukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Istiâdal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014, h. 182. Fauzi M, âUrgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporerâ, Nalar Fiqh Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 2, 2011, h. 22. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 186 permasalahan-permasalahan agama. Terbukti sejak masa Nabi praktek ijtihad senantiasa dilakukan oleh para sahabat ketika tidak dapat menanyakan secara langsung kepada Nabi Namun tidak semua sahabat dapat melakukan ijtihad, melainkan hanyalah beberapa sahabat tertentu saja yang telah diakui oleh sahabat lainnya umat Islam waktu itu atau secara inplisit yang telah mendapat pengakuan oleh Nabi Muhammad Satu di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad setelah Rasulullah wafat ialah Ali ibn Abi Thalib. Ijtihad yang dilakukannya terhadap persoalan hukum telah mendapat pengakuan dari sahabat lainnya begitupun ulama masa kini, sehingga membuat Ali ibn Abi Thalib menjadi âulamaâ besar pada era sahabat dan ahli fikir terutama pada zamannya. Bahkan beberapa para sahabat di dalam menghadapi suatu persoalan agama yang pelik tidak pernah memutuskannya kecuali setelah meminta pendapat dari Ali ibn Abi Thalib. Berangkat dari uraian di atas penulis hendak melihat kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam ijtihad. Hal ini sangat menarik untuk dijadikan objek kajian serta dibahas dengan menganalisa satu di antara kasus ijtihadnya yang melahirkan fatwa hukum yang terkadang berbeda dengan sahabat lain. Sosok dan profil Ali ibn Abi Thalib yang dimunculkan dalam tulisan ini tidak ada tendensi dan maksud tertentu untuk merendahkan keberadaan sahabat lainnya. Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat library research. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang membahas Ali ibn Abi Thalib dan ijtihad. Data-data yang dikumpulkan kemudian dibaca, dipahami, dan diteliti. Data yang diperoleh dari literatur-literatur tersebut dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dan diletakan pada posisi yang sesuai dengan sub judul yang ada pada sub poin pembahasan. Data tersebut kemudian ditelaah dan dianalisis dengan teknik analisis data yang dikenal oleh Miles dan Huberman yaitu âreduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulanâ. Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis a Source book of New Methods, Beverly Hills Sage Publications, 1984, h. 21-24. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 187 Hasil dan Pembahasan Riwayat Hidup Ali ibn Abi Thalib Ali ibn Abi Thalib dilahirkan dekat Kaâbah pada 21 tahun sebelum Hijriah, atau tepatnya 30 tahun setelah kelahiran Rasulullah Pendapat lain mengatakan pada tahun ke-32 setelah kelahiran Rasulullah Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, adapun nama-nama saudaura laki-lakinya yang lain adalah Jaâfar, Uqail, dan Thalib. Ayahnya adalah paman Nabi yang bernama Abi Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. Silsilah keturunan dari kedua orang tuanya ini menunjukkan bahwa Ali berdarah Hasyimi Bani Hasyim.Nama lain dari Ali adalah Haidharah nama yang dipilihkan ibunya, namun di tengah-tengah masyarakat nama âAliâ lah yang lebih terkenal. Sementara gelar yang disukai adalah Abu Thurab bapak tanah, gelar yang diberikan oleh Nabi di samping gelar Abu Hasan yang lebih Ali Khan, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Penerjemah, Joko S. Abd. Kahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002, h. 195. Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafaâ, Beirut Dar al-Fikr, h. 155. Shubhi Rajib al-Mahmasani, TurĂąts al-KhulafĂąâ al-RĂąsyidĂźn fĂź al-Fiqh wa al-QadhĂąâ, Beirut Dar al-Ilmi li al-Mulayin, 1984, h. 56. Ketika Ali mulai tumbuh sebagai anak-anak dalam umur enam tahun, kekeringan dan kesusahan melanda suku Quraisy. Karena pengaruh krisis ekonomi dalam keluarga Ali. Kemudian Nabi Muhammad menyarankan kepada kedua pamannya Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban hidup saudaranya Abi Thalib dengan menanggung biaya hidup dan mengasuh Nabi Muhammad disambut baik oleh kedua pamannya itu. Mengetahui hal itu, Abi Thalib berkata kepada kedua saudaranya tersebut âambillah siapa yang kalian ingin, namun tinggalkanlah Aqil untuk tetap aku asuhâ. Untuk itulah Abbas menanggung Thalib, Hamzah mengambil Jaâfar, dan Nabi Muhammad mengambil Ali. Setelah beberapa lama Ali bersama Nabi, pada usia yang hampir 10 tahun, mulailah Ali melihat adanya tanda-tanda keanehan pada diri Muhammad sekaligus menjadi pendorong keislamannya. Berawal dari tugas dia untuk membawakan dan menyediakan kebutuhan Nabi ketika Nabi berada di Gua Hiraâ. Ia sering mendatangi Gua Hiraâ, saat Rasulullah sedang khusyuk merenung ke hadirat Allah dalam kesendirian, dan di saat segenap alam Ibid. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 188 sedang berkumpul dan berdialog dengan hatinya tentang rahasia-rahasia semesta. Ali termasuk orang yang mula-mula masuk Islam dari golongan anak-anak, bahkan lebih dahulu dari Abu Bakar. Sebab waktu itu usianya baru mencapai sepuluh tahun. Menurut riwayat lain, waktu itu umurnya masih tujuh atau delapan tahun. Ada yang mengatakan bahwa ia menyatakan masuk Islam saat berada pada usia antara lima belas-enam belas tahun. Keislaman Ali itu, juga perlu diketahui bahwa hatinya suci dari penyembahan berhala. Sebab ia terdidik langsung dari bimbingan Rasulullah Ali ibn Abi Thalib dalam istimbath Hukum Secara umum dapat diketahui bahwa pada masa sahabat merupakan masa dimana syariâah Islam menghadapi berbagai persoalan yang tidak didapati pada masa Rasulullah Berbagai kasus timbul yang menuntut kepastian hukum. Dalam hal ini, sahabat sangat dituntut untuk memainkan peranannya dalam memberikan jawaban-jawaban dan kepastian hukum. Salah seorang sahabat Rasulullah yang juga turut andil dalam perkembangan fiqih di era sahabat adalah Muhammad Ridha, al-Imam Ali ibn Albi Thalib Karaânallah Wajhahu,Beirut Dar al-kutub Ilmiyah, h. 10. Ali ibn Abi Thalib, kepantasan dia menjadi seorang Mujtahid dan tokoh dalam bidang syariâah telah mendapat pengakuan dari Nabi dan sahabat-sahabat lainnya. Sehingga ia merupakan salah seorang sahabat yang turut memberi pengaruh dan warna tersendiri dalam perkembangan fiqih Islam. Hal ini terbukti dari adanya fatwa-fatwa atau keputusan hukum Ali yang dipakai dan dianut oleh Mujtahid dan ulama dari berbagai mazhab yang ada. Bila dilihat berbagai fatwa hukum dan ijtihad Ali secara umum dapat ditarik kesimpulan bagaimana sikap dan pendapat Ali terhadap berbagai sumber hukum yang ada di masa sahabat Al-Quran, Sunah, Ijmaâ, dan raâyu/Qiyas sehingga pada akhirnya menggambarkan metode ijtihad Ali dalam menetapkan dan istinbath hukum. Sikap Ali ibn Abi Thalib terhadap Al-Quran Al-Quran sebagai pegangan dan pedoman utama dalam kehidupan muslim bila dihubungkan dengan penafsiran Al-Quran, Ali termasuk sahabat yang banyak menafsirkan Al-Quran. Bahkan, ia termasuk ahli tafsir yang masyhur di antara sahabat, serta sahabat yang terbanyak Muhammad Abd al-Rahim Muhammad, al-Madkal ila Fiqh Imam Ali Kairo Dar al-Hadist, 1988, h. 12. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 189 dalam meninggalkan tafsir ayat-ayat Al-Quran di antara al-Khulafa al-Rasyidin. Hal ini antara lain didukung tidak terlalu cepatnya Ali disibukkan oleh masalah-masalah pemerintahan seperti pendahulu-pendahulunya, serta panjangnya umur beliau dalam memenuhi hajat kaum muslimin akan penafsiran Al-Quran. Ditambah lagi dengan kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki oleh Ali dalam menangkap rahasia-rahasia bahasa Al-Quran, serta banyaknya kesempatan beliau untuk menghadiri majelis-majelis Nabi sejak masa remajanya. Dengan dukungan hafalan yang kuat dan penafsiran yang mendalam. Dari aspek hukum, Ali senantiasa pertama kali merujuk pada Al-Quran. Bahkan ia termasuk sahabat yang kuat pendirian dalam berpegang teguh pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dalam menetapkan setiap hukum dalam permasalahan-permasalahan fiqih. Keteguhan dan pemahaman yang mendalam untuk berpegang teguh pada Al-Quran tersebut dapat dilihat fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkannya dan berbagai kasus yang dihadapinya. Sikap Ali ibn Abi Thalib terhadap Sunah Perbedaan aktivitas dan kesempatan di kalangan sahabat untuk menghadiri majelis-majelis Rasulullah dalam rangka mendengarkan dan menerima hadis langsung dalam majelis Beliau, secara tidak langsung menyebabkan kesenjangan dan ketidaksamaan derajat di antara sahabat dalam mengetahui Sunah. Ada di antara mereka yang banyak dan luas pengetahuannya tentang Sunah Nabi ada yang sedang-sedang saja, bahkan ada pula yang sedikit sekali. Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat sendiri maupun Mujtahid dan ulama pada periode berikutnya. Ali ibn Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat yang sering menerima hadis dari Rasulullah Sikap dan komitmen yang mendalam pada diri Ali akhirnya terbentuk dengan sendirinya untuk senantiasa berpegang teguh pada Sunah Nabi Akan tetapi, di sisi lain, tidaklah semua riwayat yang berasal dari sahabat diterima begitu saja oleh Ali ia mempunyai metode tersendiri untuk menilai dan menerima riwayat-riwayat tersebut. Untuk itu dalam menilai atau meneliti suatu Sunah benar-benar datang dari Rasulullah Ali âmengangkat Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 190 sumpahâ terhadap mereka yang meriwayatkanya cara ini, tidaklah selamanya menjadi syarat mutlak bagi Ali dalam menerima suatu riwayat. Bila orang yang meriwayatkannya adalah orang yang sudah tidak diragukan lagi akan hafalan serta kejujurannya, maka Ali tidak meminta kepadanya untuk bersumpah, seperti yang dilakukanya pada Abu Bakar. Dengan demikian, âmengangkat sumpahâ dalam meriwayatkan sebuah Sunah datang dari Rasulullah hanyalah salah satu cara untuk meyakinkan Ali akan keshahihan untuk menerima suatu Sunah bila dirasa perlu, atau dengan kata lain adalah untuk menambah kepastian dan kesahihan suatu riwayat yang disampaikan kepadanya. Cara tersebut bukan didasari atas keraguan terhadap kejujuran dan kelurusan periwayatan sahabat lain, pilih kasih, curiga, saling mendustainya para sahabat satu sama lain dalam menerima suatu riwayat hadis yang tidak mereka dengar langsung dari Rasulullah atau didasari tidak bersumbernya dari keluarga Nabi Melainkan cara seperti ini menunjukkan kehati-hatian dan ketegasan Muhammad Ajjajâ al-Khatib, Ushul al-Hadits ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989, h. 60. Lihat juga, Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-3, h. 81-82. Ali untuk memastikan keshahihan suatu Sunah Rasulullah Adanya cara seperti ini, bukan bermaksud untuk berpaling dari Sunahnya atau untuk memperkecil riwayatnya. Sikap Ali dalam Ijtihad Ijtihad di era sahabat atau dikenal dengan isitilah penggunaan raâyu akal oleh manusia, secara sederhana istilah tersebut dalam perspektif ushul fiqih dengan penggunaan akal fikiran dalam menetapkan hukum syaraâ terhadap kasus-kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunah. Munculnya term raâyu dengan disebabkan karena persoalan hukum semakin kompleks dan berkembang, wilayah Islam semakin luas, dan tingkat peradaban masyaraâat semakin meningkat. Lebih lanjut, penggunaan raâyu dalam teori ushul fiqih diformulasikan dalam bentuk lahirnya berbagai metode ijtihad sesuai dengan penekanan dan spesifikasinya masing-masing. Di samping juga didukung oleh teks-teks hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran dan Sunah yang menuntut interpretasi-interpretasi lebih jauh. Bagi Ali ibn Abi Thalib sendiri, penggunaan raâyu dalam penetapan hukum merupakan bisa dikatakan suatu keharusan dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hukum di tengah-tengah AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 191 masyarakat. Sebab segala sesuatunya tidaklah dimuat secara eksplisit dalam nash-nash Al-Quran. Kadang Al-Qurâan hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Kebijakan Ali ini terbukti dari banyak keputusan hukum hasil ijtihadnya yang berdasarkan kepada penggunaan dan pemakain raâyu dalam kasus-kasus fiqih yang dihadapinya, seperti kasus hukuman bagi peminum khamar. Namun demikian, penggunaan dan pemakaian raâyu oleh Ali dalam istinbath hukum terhadap berbagai kasus fiqih yang dihadapinya tidak bebas begitu saja. Sebab dalam banyak riwayat, ia mengencam penggunaan raâyu yang tidak bersandar kepada Al-Quran dan Sunah. Contoh Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad Salah satu contoh ijtihad Ali ibn Abi Thalib yang masyur yaitu ketika ia memerintahkan untuk membakar suatu tempat atau perkampungan yang terkenal dengan perdagangan khamar di sebuah riwayat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal bahwasanya Ali memandang ke arah suatu perkampungan yang bernama Muhammad Ruwas Qolâah Jiy, Mausuâah Fiqh Ali ibn Abi Thalib, Beirut Dar al-Nafais, 1996, Cet. Ke-1, h. 95 dan 98. Zararah, kemudian ia bertanya âkampung apa ini?â mereka yang ada disekitarnya menjawab âini sebuah perkampungan yang bernama Zararah, di situ khamar dikumpulkan dan diperjualbelikanâ. Kemudian Ali bertanya lagi âmana jalan untuk menuju kesana?â mereka menjawab âBabul Jisri Pintu Jembatanâ, kemudian seseorang berkata âwahai Amirul Mukminin, akan kami sediakan kapal air yang dapat membawamu ke tempat ituâ, Ali menjawab âitu sama saja dengan menghina manusia, kita tidak perlu menghina sesama, mari kita berangkat ke Babul Jisri. Maka berjalanlah ia hingga sampai ke tempat yang dituju, lalu berkata âcari api dan bakarlah tempat itu, karena sesungguhnya kejahatan saling memakan satu sama lainâ. Menurut riwayat lain bahwa perkampungan itu terbakar dari kedua sisi baratnya hingga mencapai kebun khuwastabi Jabrauna. Berdasarkan contoh diatas, tergambar bahwa Ali ibn Abi Thalib bisa dikatakan memiliki kebijakan tersendiri dalam ijtihadnya. Kebijakan tersebut menunjukan adanya kekhususan dan kejelian Ali ibn Abi Thalib dalam memandang suatu masalah hukum yang dihadapinya. Di samping itu terlihat juga bahwa Ali memiliki pola tersendiri dalam Abu Ubait al-Qasim ibn Salam, Kitab al-Amwal, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986, h. 105. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 192 memandang kemaslahatan yang dituju oleh hukum yang difatwakannya, demi menjaga dan memelihara prinsip dan ruh syariat. Penutup Berdasarkan kajian dan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa dalam berijtihad Ali ibn Abi Thalib memiliki pola dan metode tersendiri dalam istinbath atau menetapkan hukum Islam fiqih. Keteguhannya untuk berpegang pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dan kehati-hatiannya untuk menilai suatu Sunah, serta keleluasaannya dalam menggunakan raâyu akal merupakan ciri tersendiri bagi Ali ibn Abi Thalib dalam menghadapi polemik hukum yang terjadi di masyarakat kala itu. Ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib terhadap berbagai kasus hukum yang dihadapinya senantiasa menggali dan memahami secara mendalam tujuan hukum dan alasan penetapannya, serta mewujudkan kemaslahatn bagi manusia yang didukung oleh nash dan sejalan dengan ruh syariat. Pustaka Acuan al-Dhuraini, Muhammad Fathi, Buhusu Muqaranah fi al-Fiqh al-Islami wa Ushulih, Beirut Muassasah, 1994, Juz 1. al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Iâlam al-muwaqqiâin an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz 3. al-Khatib, Muhammad Ajjajâ, Ushul al-Hadits ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989. al-Mahmasani, Shubhi Rajib, TurĂąts al-KhulafĂąâ al-RĂąsyidĂźn fĂź al-Fiqh wa al-QadhĂąâ, Beirut Dar al-Ilmi li al-Mulayin, 1984. al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qurâan dan Sunnah, Penerjemah Baharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhuâ al-Qurâan wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, 1996. al-Suyuthi, Jalaluddin, Tarikh al-Khulafaâ, Beirut Dar al-Fikr, al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariâah, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 2. al-Zuhayli, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus Dar al-Fikr, 1986, Juz 2. Fauzi M, âUrgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporerâ, Nalar Fiqh AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 193 Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 2, 2011. Hadi, Khoirul, âHukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Istiâdal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997. Jafar, Wahyu Abdul, âImamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyatâ, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017. Jiy, Muhammad Ruwas Qolâah, Mausuâah Fiqh Ali ibn Abi Thalib, Beirut Dar al-Nafais, 1996. Khan, Majid Ali, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Penerjemah, Joko S. Abd. Kahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002. Mauluddin, Syaâban, âKarakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinyaâ, Jurnal Ilmiah Al-Syirâah, Vol. 2, No. 1, 2004. Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis a Source book of New Methods, Beverly Hills Sage Publications, 1984. Muhammad, Muhammad Abd al-Rahim, al-Madkal ila Fiqh Imam Ali Kairo Dar al-Hadist, 1988. Ridha, Muhammad, al-Imam Ali ibn Albi Thalib Karaânallah Wajhahu,Beirut Dar al-kutub Ilmiyah, Roseffendi, âHubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukumâ, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, 2018. Salam, Abu Ubait al-Qasim ibn, Kitab al-Amwal, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. Witro, Doli, âPraktek Jual Beli Parang dengan Cara Penumpukan untuk Meningkatkan Harga di Desa Koto Padang Perspektif Hukum Islamâ, Al-Qisthu, 2019. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this WitroManusia, dalam menunaikan hak dan kewajibannya terhadap sesama anggota masyarakat, tentunya tidak lepas dari ikatan ketergantungan satu sama lain. Banyak interaksi dan kerjasama yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya. Sebagai seorang muslim yang memeluk agama Islam dalam melakukan transaksi jual beli tentunya harus sesuai dengan rukun-rukun, syarat-syarat, dan juga bentuk-bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Jual beli sudah terjadi sejak masa dahulu, namun masih bertahan hingga kini, begitupun di Desa Koto Padang. Desa Koto Padang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanah kampung, Kota Sungai Penuh. Desa ini mempunyai kerajinan tangan yaitu pandai besi. Para saragi sebelum memasarkan parang keluar daerah mencari dan mendatangi tukang sahoh terlebih dahulu untuk membeli parang. Pada saat terjadi transaksi, maka dengan sendirinya terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli. Ketika permintaan parang banyak, dengan sendirinya terjadi kelangkaan, pada saat yang bersama ada sebagian tukang sahoh yang melakukan penumpukan parang untuk meningkatkan harga. Kelangkaan parang terjadi karena banyaknya permintaan dari laur daerah sedangkan tukauh terlambat mengeluarkan pesanan parang yang dipesan oleh tukang sahoh. Pada saat jumlah parang stabil dijual dengan harga Rp. perkodi semua tukang sahoh menjual dengan harga yang sama. Tetapi ketika terjadi kelangkaan parang, tukang sahoh yang melakukan penumpukan parang tadi, menjual dengan harga Rp. perkodi sedangkan dia menpunyai persediaan parang yang cukup banyak dan tidak mau kurang dengan harga yang sebesar itu. Berdasarkan objek, penelitian ini adalah penelitian lapangan field research. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif. Sumber data ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumenter. Adapun teknik analisis data digunakan adalah teknik analisis yang dikemukan oleh Miles dan Huberman dengan langkah-langkah yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hal ini penulis rasa penting untuk dikaji, melihat permasalahan tersebut dalam tinjauan hukum Islam. Setelah kajian ini dilakukan penulis berharap dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi tukang sahoh dan saragi dalam melakukan jual beli parang di Desa koto MArtikel ini akan membicarakan tentang rasional urgensinya melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer dan juga landasan melakukan ijtihad saintifik tersebut, serta contoh ijtihad saintifik dalam menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer. Jawabannya, memang, betapa urgennya dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era global. Al-Qurâan dan al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam telah menyediakan instrumen-instrumen hukum yang sangat fleksibel dengan segala perubahan zaman, sehingga Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti oleh hukum Islam, yakni dengan melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab segala problematika transaksi kontemporer yang muncul tersebutIbn Qayyim, I'lam almuwaqqi'in an Rabb al-AlaminAl-Jauziyahal-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam almuwaqqi'in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu' al-Qur'an wa SunnahF BaharuddinBaharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu' al-Qur'an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti'dalKhoirul HadiHadi, Khoirul, "Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti'dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, dalam Perspektif Kemaslahatan RakyatWahyu JafarAbdulJafar, Wahyu Abdul, "Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat", Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, Hukum Islam Konsep Dan ImplementasinyaJudul KahharAsliKahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002. Mauluddin, Sya'ban, "Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya", Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, Vol. 2, No. 1, "Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum", Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, Raja Grafindo PersadaMunzier SupartaIlmu HaditsSuparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002.alÄ« bin abÄ« thÄlib lahir sekitar 13 rajab 23 pra hijriah/599m - wafat 21 ramadan 40 hijriah/661 mdi mekkah, daerah hijaz, jazirah arab, adalah salah seorang pemeluk islam pertama dan juga keluarga dari nabi dari ibu yang bernama fatimah binti asad, dimana asad merupakan anak dari hasyim, sehingga menjadikan ali, merupakanBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke empat dari kekhalifahan islam. Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah setelah meninggalnya khalifah Usman bin Affan dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi dirumah khalifah Usman bin Affan. Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal terjadi antara golongan Ali dan Aisyah dan perang Shifin terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah. Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qurâan sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam. Membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku yang kami baca, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Di makalah ini juga, kami akan menghadirkan biografi Ali sebagai pengetahuan sepintas, sebab tidak pantas rasanya kalau kita membahas seseorang tetapi tidak mengetahui biografinya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib? 2. Bagaimana proses pembaiâatan Ali bin Abi Thalib? 3. Bagaimana sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib? 4. Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib? 5. Peristiwa apa saja yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib? C. Tujuan dan Manfaâat 1. Tujuan a. Dapat memahami dan menjelaskan tentang biografi Ali bin Abi Thalib. b. Dapat memahami dan menjelaskan tentang proses pembaiâatan Ali bin Abi Thalib. c. Dapat memahami dan menjelaskan tentang sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib. d. Dapat memahami dan menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib. e. Dapat memahami dan menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. 2. Manfaâat a. Memberikan tambahan ilmu yang sebelumnya masih kurang atau bahkan belum tahu sebelumnya. b. Memberikan tambahan pengetahuan yang baru. c. Memberikan bekal dalam pembuatan skripsi kelak. d. Memberikan tambaham iman dan taqwa kepada Allah. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Ali bin Abi Thalib 1. Nama dan Nasab Ali bin Abi Thalib Ia adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu Manaf, sepupu nabi Muhammad SAW, dan suami dari pemimpin seleuruh perempuan, Fatimah binti Nabi Muhammad, serta ayah dari dua cucu beliau, al-Hasan dan al-husain. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin hasyim bin Abdu Manaf. Ia masuk islam ketika masih kecil, yaitu berumur delapan tahun.[1] 2. Istri Ali bin Thalib Semasa hidup Ali, Ia mempunya banyak istri. Wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya adalah Fatimah binti Rasulullah SAW, Umamah binti Abul Ash, Khaulah binti Jaâfar bin Qais, Laila binti Masâud, Ummul Banin bintu Hizam, Asmaâ binti Umais, ash-Shahba binti Rabiâah, dan Ummu Saâid binti Urwah.[2] 3. Anak Ali bin Abi Thalib Khalifah Ali bin Thalib juga dikaruniai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki al-Hasain, al-Husain, Muhammad al-Akbar, Ubaidillah, Abu Bakar, al-Abbas al-Akbar, Utsman, Jaâfar al-Akbar, Abdullah, Yahya, Aun, Umar al-Akbar, Muhammad al-Ausath, dan Muhammad al-Ashghar. Adapun yang perempuan Zainab al-Kubra, Ummu Kultsum al-Kubra, Ruqayyah, Ummul Hasan, Ramlah al-Kubra, Ummu Haniâ, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ummu Kultsum asg-Shughra, Fatimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Salamah, Ummu Jaâfar, Jumanah, dan Nafisah.[3] B. Pembaiâatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Setelah Khalifah Usman syahid, Ali diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau menolak, namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka "Beliau Usman telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda Ali". Ali berkata kepada mereka "Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir pembantu bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". Ali menjawab "Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Ali kemudian keluar menuju masjid, dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka.[4] Pengangkatan Khalifah Ali terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M. Penetapannya sebagai Khalifah ditolak antara lain oleh Muâawiyah bin Abu Shufyan, dengan alasan Ali harus mempertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman, dan berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang di Madinah saja.[5] Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan kongkrit di dalam kalangan al-Shahabi menjadi suatu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa bersenjata yang menelan korban bukan kecil. Juga pada masanya itu bermula lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian tetapi lambat-laun berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan, menpunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu di dalam beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkambangan tersebut berlangsung beberapa puluh tahun sepeninggal Khalifah Ali ibn Abi Thalib.[6] C. Sistem Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya. Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Ia juga membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.[7] Ali juga memindahkan pusat kekuasaan islam ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah. Pada saat itu, Ali tidak bermukim secara tetap di Kuffah, dia pergi kesana hanya untuk menegakkan kekuasaannya, sebagaimana ditunjukkan oleh jasa pemukimannya yang ada diluar kota itu. Pada saat yang sama dia melakukan perpindahan-perpindahan untuk menegakkan kedudukannya dibeberapa propinsi didalam kerajannya.[8] D. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib Selama Ali bin Abi Thalib memerintah , ia membuat kebijakan-kebijakan tertentu sesuai dengan situasi yang mengiringinya atau situasi yang dihadapinya, sehingga kebijakan Ali sangat berbeda dengan kebijakan sebelum-sebelumnya. Diantara kebijakan Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah 1. Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah untuk segera mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi pemerintahannya yang masih labil, Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.[9] 2. Mengganti Pejabat dan Penataan Administrasi Diantara pemicu terjadinya fitnah di zaman Utsman adalah kecenderungan pemerintahannya yang dianggap nepotis, yang mengangkat kerabatnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Hal inilah antara lain yang digugat oleh kaum pemberontak. Ali segera mengambil kebijaksanaan untuk mengganti gubernur yang diangkat Utsman tersebut.[10] 3. Memberi tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal, tanpa melihat apakah masuk islam dahulu atau belakangan. 4. Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat. 5. Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat Utsman. 6. Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.[11] E. Peristiwa-peristiwa Penting pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 1. Perang Jamal Perang Jamal adalah peperangan yang terjadi anatara Aisyah dengan Khalifah Ali. Aisyah telah dihasut oleh anak angkatnya Abdullah bin Zubair yang sebenarnya menginginkan jabatan khalifah. Alasan perang ini karena khalifah Ali dianggap tidak mengusut pembunuhan khallifah ustman dan dianggap membiarkan kasus pembunuhan usman. Khalifah Ali berusaha supaya tidak teradi peperangan dengan melakukan perundingan akan tetapi ternyata ada pasukan Aisyah yang mengajak berperang maka perangpun tidak bisa dihindarkan. Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan ini, Ali disertai personil pasukan, sementara Pasukan Jamal berjumlah antara prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin az-Zubair.[12] Perang Jamal ini dimenangkan Ali. Kedua saingan Thalha-Zubair gugur atau terbunuh dimalam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara Aisyah kalah perang dan ditangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang âibu negaraâ.[13] 2. Perang Shiffin Perang Shiffin adalah peperangan pasukan Ali melawan Muâawiyah. Perang ini tidak berakhir dengan kalah-menang antara keduanya, tetapi hanya dengan mengamati indikasi peperangan, akan tampak kelemahan Ali kalau tidak mau kalah. Peperangan ini terjadi karena faktor politik. Dapat dikemukakan dua hal yang mempengaruhi Pertama, Ali diangkat menjadi khalifah pada tahun 656, namun Muâawiyah jauh lebih mapan karena dua puluh tahun lebih dulu telah menjadi Gubernur Syiria; Kedua, Muâawiyah cukup berpengalaman dan memiliki pengaruh yang mengakar, yang mampu membangun kemakmuran bagi wilayah dan penduduknya, sedangkan Ali tidak memilik kemantapan politik pada masa khilafah.[14] Perang Jamal terjadi diwilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat. Dalam peperangan ini, Ali membawa pasukan sebanyak orang, dan Muâawiyah membawa tentara Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr bin Ash pemimpin pasukan Muâawiyah yang cerdik dan licik melancarkan siasat. Salinan al-Qurâan yang dilekatkan diujung tombak terlihat diacung-acungkan, sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan dan mengikuti keputusan al-Qurâan. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan telah menimbukan perpecahan dikalangan umat Islam yang terbagi menjadi tiga kekuatan politik yaitu Muâawiyah, Syiâah dan Khawarij.[15] Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Muâawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H 660 M, Ali dibunuh oleh salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam dengan pedang beracun di dahinya yang mengenai otak.[16] 3. Perang Nahrawan Perang ini terjadi pada tahun 38 H. Sepulangnya ke Kufah, kaum Khawarij memberontak terhadapnya. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim. Mereka mengatakan âtidak boleh ada hukum yang dipatuhi kecuali hukum Allahâ. Mereka memprovokasi orang-orang untuk menentang Ali. Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Khabbabdan istrinya yang ketika itu sedang hamil tua. Ketika ksaus ini sampai kepada Ali, ia mengirimkan surat kepada mereka, isinya âSiapa yang menbunuh Khabbab?â Mereka menjawab âKamilah semua yang membunuhnyaâ. Maka Ali pun keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan.[17] 4. Munculnya Sekte-sekte Sebagai akibat perang Shiffin, sekte-sekte muncul secara serius pada masa Ali. Bahkan persinggungan antara faktor teologi dan politik muncul pertama kali dalam suatu percekcokan yang terjadi dikalangan pengikut Ali. Dalam sejarah umat Islam, sekte-sekte sebagai wujud perbedaan pemikiran dan ide pada pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik kelompok setia Ali yang selanjutnya dinamakan Syiâah dan kelompok eksodus yang selanjutnya dikenal dengan Khawarij, benar-benar berbeda sangat jauh. Syiâah merupakan kelompok sayap kanan dan Khawarij adalah kelompok sayap kiri. Keduanya sama radikal dan ekstrim. Adanya imam menurut Syiâah adalah wajib. Keharusan agama dan dunia akan hancur tanpa imam. Tetapi Khawarij mengatakan, adanya imam tidak diharuskan agama. Imam tidak perlu bila manusia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, bahkan karena imamlah manusia membuat kehancuran dengan membunuh. Kemelut yang semula menitikberatkan hal-hal politik, kini beralih pada persoalan teologi. Seperti apa yang dilontarkan Syiâah maupun Khawarij, mempunyai konotasi dengan pembicaraan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.[18] BAB III PENUTUP A. Simpulan 1. Ali menjadi Khalifah ditunjuk oleh para sahabat. 2. Masa kekhalifahannya 35-40 H / 656-661 M 3. Memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah. 4. Memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan mengirim kepala daerah yang baru yang menggantikan 5. Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat Utsman dengan jalan yang tidak sah. 6. Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar. 7. Perang Jamal => Pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah => menuntut balas atas terbunuhnya Utsman dan Ali tidak mau menghukum pembunuh Utsman. Perang dimenangkan Ali. 8. Perang Shiffin => Pemberontakan oleh Muâawiyah. Diakhiri dengan Tahkim. 9. Perang Nahrawan => Pemberontakan oleh Khawarij. 10. 20 Ramadhan 40 H 24 Januari 661 M, Ali dibunuh Abdurrahman bin Muljam. B. Kritik dan Saran Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini. Kami mohon maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam penulisan makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif. DAFTAR PUSTAKA al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2012. Hiqbah Minat Tarikh Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya al-Husain diterjemahkan Syafarudin. Jakarta Pustaka Imam Syafiâi. Fuâadi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta Teras. diakses 4 April 2013 Karim, Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta Pustaka Book Publisher. Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta Teras. Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta Universitas Indonesia Press. Souâyb, Joesoef. 1970. Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin. Jakarta Bulan Bintang. Shaban. 1993. Sejarah Islam 600-750 Penafsiran Baru. Jakarta Rajawali Pers. Sholikhin. 2005. Sejarah Peradaban Islam. Semarang Rasail. Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Raja Grafindo. [1] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Hiqbah Minat Tarikh Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya al-Husain diterjemahkan Syafarudin, Jakarta Pustaka Imam Syafiâi, 2012, cet. 2, hlm. 167. [5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Jakarta Universitas Indonesia Press, 1990, hlm. 28. [6] Joesoef Souâyb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, Jakarta Bulan Bintang, 1979, hlm. 462-463. [7] diakses 4 April 2013 [8] Shaban, Sejarah Islam 600-750 Penafsiran Baru, Jakarta Rajawali Pers, 1993, hlm. 105. [9] Imam Fuâadi, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta Teras, 2011, hlm. 61 [11] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Yogyakarta Teras, 2012, hlm. 66. [12] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Op. Cit., hlm. 181. [13] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta Pustaka Book Publisher, 2007, hlm. 106-107. [14] Sholikhin, Sejarah Peradaban Islam, Semarang Rasail, 2005, hlm. 23-24. [15] Khoiriyah, Op. Cit., hlm. 63. [16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta Raja Grafindo, 2003, hlm. 40. [17] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Op. Cit., hlm. 195. [18] Solikhin, Op. Cit., hlm. 29-30.
Alibin Abi +halib men"ampaikan pidat$ p$litik untuk pertama kalin"a. Pidat$n"a tersebut se-ara umum menggambarkan garis besar dari Eisi p$litikn"a. Menurut /e'e 6ainudin! sedikitn"a ada lima Eisi p$litik Ali dari pidat$n"a itu. Faitu = Sumber hukum dan dasar keputusan p$litik "ang akan dilaksanakan $leh Ali adalah kitab su-i al.3uran.
90% found this document useful 10 votes10K views10 pagesDescriptionSejarah IslamCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?90% found this document useful 10 votes10K views10 pagesMakalah Ali Bin Abi ThalibJump to Page You are on page 1of 10 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 9 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
S29sG.